RENUNGAN JUPITER
(Kupu-kupu Kebahagiaan)
Suatu ketika, aku duduk termenung di tepian telaga. Tatapan mataku kosong, menatap hamparan air yang mengalir tanpa riak. Seluruh penjuru mata angin telah aku lewati, namun tak ada satupun titik yang membuatku puas.
Kekosongan makin terasa senyap, sampai tiba-tiba ada satu suara yang sangat lembut menyapaku. “Sedang apa kamu di sini?” tanya seseorang, yang ternyata Ibu Peri yang berpenampilan sangat anggun.
“Apa yang kamu risaukan?” tanyanya lagi. Perlahan aku menoleh ke samping,
“Aku lelah Ibu Peri. Telah berkilo-kilo jarak yang kutempuh untuk mencari kebahagiaan, namun tak juga kutemukan rasa itu dalam diriku. Aku telah berlari melewati gunung dan lembah, tapi tak ada tanda kebahagiaan yang hadir dalam diriku. Kemanakah aku harus mencarinya? Bilakah kutemukan rasa itu?”
Ibu Peri perlahan menghampiriku, mendengarkan luapan kegundahan hatiku dengan penuh perhatian. Tatapan matanya sangat teduh, ia memandang wajah lelahku, “Di depan sana, ada sebuah taman. Jika kamu ingin jawaban dari pertanyaanmu, tangkaplah seekor kupu-kupu untukku.”
Sesaat kami berpandangan.
“Ya, tangkaplah seekor kupu-kupu untukku dengan tanganmu!” Ibu Peri mengulang kalimatnya lagi.
Perlahan aku bangkit. Kemudian melangkahkan kaki menuju satu arah, taman.
Tak berapa lama, aku tiba di taman itu. Taman yang semarak dengan pohon dan bunga-bunga yang bermekaran. Tak heran, banyak kupu-kupu yang berterbangan di sana. Mereka terlihat sangat menawan, namun hatiku sama sekali tidak tergerak.
Aku pernah dihinggapi beberapa kupu-kupu. Dengan penuh cinta, awalnya mereka selalu membawaku terbang ke tempat yang sangat indah, menaburiku dengan limpahan madu hingga membuatku enggan untuk pulang.
Beberapa kali aku pernah dibuatnya mabuk kepayang hingga terlena dengan kemanisan yang mereka hadirkan. Namun ketika mereka sudah mulai bosan dan merasa tidak menemukan apa yang mereka inginkan dari diriku. Satu kali saja aku melakukan kesalahan, tanpa ampun lagi mereka akan segera mencampakan tubuhku dari dekapan erat sayap-sayapnya.
Aku yang memang tidak di karunia sepasang sayap, seketika langsung meluncur jatuh. BUK!
Untuk kesekian kalinya aku kembali cedera. Seketika gairahku langsung lumpuh, hasratku lenyap, harapanku menguap. Sekuat apapun aku berusaha untuk bisa terbang dan mencoba untuk meraihnya kembali, namun karena keterbatasanku pada akhirnya aku hanya bisa pasrah tanpa sanggup lagi untuk berbuat apa-apa.
Kini Ibu Peri memintaku untuk menangkap satu dari kupu-kupu indah dan lincah itu. Apakah aku sanggup? Sementara untuk mendekatinya saja aku masih menyimpan sedikit trauma. “Hhhh, apa yang harus aku lakukan?” gumamku sambil menyeka keringat dingin yang mulai menetes di dahi.
Ibu Peri yang melihat dari kejauhan, memperhatikan keraguan serta kegelisahan yang tengah melanda hatiku. Dengan menganggukan kepala, ia memberikan semangat kepadaku untuk mengabulkan permintaannya tadi.
Walau masih ragu, lambat-lambat aku mulai bergerak. Dengan mengendap-endap, aku menuju sebuah sasaran. Perlahan. Namun, Hap! sasaran itu luput. Dengan penasaran aku mengejar kupu-kupu itu dari arah lain. Namun lagi-lagi. Hap! Aku gagal. Aku merasa dilecehkan dan tak mau kehilangan buruan.
Aku mulai berlari tak beraturan. Menerjang ilalang yang menghadang. Menabrak rerumputan dan tanaman, demi bisa mendapatkan kupu-kupu buruanku itu. Kuterobos semak dan perdu di sana. Gerakanku semakin liar dan tanpa tujuan. Yang ada dibenakku hanyalah keinginan untuk menaklukan kelincahan kupu-kupu buruanku tersebut.
Adegan perburuan terus berlangsung, namun belum ada satu kupu-kupu yang dapat aku tangkap. Sampai pada akhirnya aku mulai kelelahan. Nafasku memburu, dadaku bergerak naik-turun dengan cepat. Tapi aku sama sekali tidak mau menyerah. Aku harus bisa memenangkan perburuan ini. Sedikitpun aku tidak boleh terlihat lemah di depan Ibu Peri yang terus memperhatikan setiap gerak-gerikku dari kejauhan.
Setelah berhasil mengatur nafas kembali, aku berniat untuk melanjutkan perburuan, namun tiba-tiba kudengar teriakan Ibu Peri, “Hentikan dulu, nak. Istirahatlah!”
Aku langsung menghentikan gerakan, kutatap penuh tanya Ibu Peri yang berjalan perlahan mendekatiku.
Sekumpulan kupu-kupu yang berterbangan di sisi kanan-kiri Ibu Peri, seketika membuat mulutku menganga. Aku menatap takjub, melihat kupu-kupu yang berwarna-warni dan sangat indah itu terbang berkeliling, sesekali hinggap di pundak Ibu Peri. Mereka terlihat sangat jinak,
“Begitukah caramu mengejar kebahagiaan? Berlari dan menerjang? Menabrak-nabrak tak tentu arah, menerobos tanpa peduli apa yang kamu rusak?”
Masih dengan sorot mata penuh kelembutan, Ibu Peri menatap mataku kemudian berkata dengan bijak. “Nak, mencari kebahagiaan itu seperti menangkap kupu-kupu. Semakin kamu terjang, semakin ia akan menghindar. Semakin kamu buru, semakin pula ia akan pergi dari dirimu.”
“Untuk bisa mendapatkannya, sebetulnya mudah sekali. Tangkaplah kupu-kupu itu dengan mengerahkan kelembutan hatimu bukan dengan kekuatan tenagamu. Karena kebahagiaan itu bukan benda yang dapat kamu genggam, atau sesuatu yang dapat kamu simpan. Temukanlah kebahagiaan itu dalam hatimu. Telusuri rasa itu dalam kalbumu. Ia tak akan lari kemana-mana. Bahkan tanpa kamu sadari, kebahagiaan yang selalu kamu cari itu suatu saat pasti akan memenuhi jiwamu dengan sendirinya.”
“Tak ada musuh yang tak dapat ditaklukan oleh cinta. Tak ada penyakit yang tak dapat disembuhkan oleh kasih sayang. Tak ada permusuhan yang tak dapat dimaafkan oleh ketulusan. Tak ada kesulitan yang tak dapat dipecahkan oleh ketekunan. Tak ada batu keras yang tak dapat dipecahkan oleh kesabaran. Semua itu haruslah berasal serta bermula dari hati kamu sendiri. Bicaralah dengan bahasa hati, maka akan sampai ke hati pula.”
Sesaat aku termenung, mencoba mencerna rangkaian kata bijak yang disampaikan oleh Ibu Peri.
Ya, selama ini aku tidak bisa membedakan antara bisikan hati dengan bisikan ego di dalam diri. Demikian mudahnya aku terpancing emosi sehingga membuatku selalu terjebak dalam pemikiran yang selalu menomor satukan harga diri. Keegoanku yang tidak ingin terlihat lemah serta rasa kecewa karena selalu merasa di anggap ‘tidak ada’, malah semakin menenggelamkan bisikan hatiku dalam balutan api amarah yang selanjutkan justru semakin membakar dan menghanguskan gairahku sendiri.
Aku tersentak, ketika jemari lembut Ibu Peri menyentuh dan mengusap butiran bening yang tanpa sadar telah mengalir di kedua pipiku.
Sambil tersenyum dan dengan penuh kelembutan, selanjutnya perlahan Ibu Peri mengangkat tangannya. Hap! Tiba-tiba kupu-kupu yang tadi aku kejar, hinggap di ujung jemari lentiknya. Ia terlihat sangat jinak. Sama sekali tidak menghindar apalagi mengelak, ketika Ibu Peri menyentuh sayap cantiknya.
Kepak-kepak sayap kupu-kupu itu memancarkan keindahan ciptaan Tuhan. Pesonanya begitu mengagumkan, kelopak sayap yang mengalun perlahan, layaknya kebahagiaan yang hadir di dalam hati. Warnanya begitu indah, seindah kebahagiaan bagi mereka yang mampu menyelaminya. (Jupiter doc./22Mei’08)
(*Cerita pencerahan dari seorang sahabat yang sebagian besar isi serta rangkaian kalimatnya sudah terlebih dahulu aku edit dan aku kembangkan. Semoga bisa mencerahkan setiap hati yang tengah dilanda gundah)