RENUNGAN JUPITER

Keikhlasan itu umpama seekor semut hitam, di atas batu yang hitam, di malam yang amat kelam.

Archive for Mei 23rd, 2008

Kupu-kupu Kebahagiaan

Posted by jupiter pada Mei 23, 2008

RENUNGAN JUPITER
(Kupu-kupu Kebahagiaan)

Suatu ketika, aku duduk termenung di tepian telaga. Tatapan mataku kosong, menatap hamparan air yang mengalir tanpa riak. Seluruh penjuru mata angin telah aku lewati, namun tak ada satupun titik yang membuatku puas.

Kekosongan makin terasa senyap, sampai tiba-tiba ada satu suara yang sangat lembut menyapaku. “Sedang apa kamu di sini?” tanya seseorang, yang ternyata Ibu Peri yang berpenampilan sangat anggun.

“Apa yang kamu risaukan?” tanyanya lagi. Perlahan aku menoleh ke samping,

“Aku lelah Ibu Peri. Telah berkilo-kilo jarak yang kutempuh untuk mencari kebahagiaan, namun tak juga kutemukan rasa itu dalam diriku. Aku telah berlari melewati gunung dan lembah, tapi tak ada tanda kebahagiaan yang hadir dalam diriku. Kemanakah aku harus mencarinya? Bilakah kutemukan rasa itu?”

Ibu Peri perlahan menghampiriku, mendengarkan luapan kegundahan hatiku dengan penuh perhatian. Tatapan matanya sangat teduh, ia memandang wajah lelahku, “Di depan sana, ada sebuah taman. Jika kamu ingin jawaban dari pertanyaanmu, tangkaplah seekor kupu-kupu untukku.”

Sesaat kami berpandangan.

“Ya, tangkaplah seekor kupu-kupu untukku dengan tanganmu!” Ibu Peri mengulang kalimatnya lagi.

Perlahan aku bangkit. Kemudian melangkahkan kaki menuju satu arah, taman.

Tak berapa lama, aku tiba di taman itu. Taman yang semarak dengan pohon dan bunga-bunga yang bermekaran. Tak heran, banyak kupu-kupu yang berterbangan di sana. Mereka terlihat sangat menawan, namun hatiku sama sekali tidak tergerak.

Aku pernah dihinggapi beberapa kupu-kupu. Dengan penuh cinta, awalnya mereka selalu membawaku terbang ke tempat yang sangat indah, menaburiku dengan limpahan madu hingga membuatku enggan untuk pulang.

Beberapa kali aku pernah dibuatnya mabuk kepayang hingga terlena dengan kemanisan yang mereka hadirkan. Namun ketika mereka sudah mulai bosan dan merasa tidak menemukan apa yang mereka inginkan dari diriku. Satu kali saja aku melakukan kesalahan, tanpa ampun lagi mereka akan segera mencampakan tubuhku dari dekapan erat sayap-sayapnya.

Aku yang memang tidak di karunia sepasang sayap, seketika langsung meluncur jatuh. BUK!

Untuk kesekian kalinya aku kembali cedera. Seketika gairahku langsung lumpuh, hasratku lenyap, harapanku menguap. Sekuat apapun aku berusaha untuk bisa terbang dan mencoba untuk meraihnya kembali, namun karena keterbatasanku pada akhirnya aku hanya bisa pasrah tanpa sanggup lagi untuk berbuat apa-apa.

Kini Ibu Peri memintaku untuk menangkap satu dari kupu-kupu indah dan lincah itu. Apakah aku sanggup? Sementara untuk mendekatinya saja aku masih menyimpan sedikit trauma. “Hhhh, apa yang harus aku lakukan?” gumamku sambil menyeka keringat dingin yang mulai menetes di dahi.

Ibu Peri yang melihat dari kejauhan, memperhatikan keraguan serta kegelisahan yang tengah melanda hatiku. Dengan menganggukan kepala, ia memberikan semangat kepadaku untuk mengabulkan permintaannya tadi.

Walau masih ragu, lambat-lambat aku mulai bergerak. Dengan mengendap-endap, aku menuju sebuah sasaran. Perlahan. Namun, Hap! sasaran itu luput. Dengan penasaran aku mengejar kupu-kupu itu dari arah lain. Namun lagi-lagi. Hap! Aku gagal. Aku merasa dilecehkan dan tak mau kehilangan buruan.

Aku mulai berlari tak beraturan. Menerjang ilalang yang menghadang. Menabrak rerumputan dan tanaman, demi bisa mendapatkan kupu-kupu buruanku itu. Kuterobos semak dan perdu di sana. Gerakanku semakin liar dan tanpa tujuan. Yang ada dibenakku hanyalah keinginan untuk menaklukan kelincahan kupu-kupu buruanku tersebut.

Adegan perburuan terus berlangsung, namun belum ada satu kupu-kupu yang dapat aku tangkap. Sampai pada akhirnya aku mulai kelelahan. Nafasku memburu, dadaku bergerak naik-turun dengan cepat. Tapi aku sama sekali tidak mau menyerah. Aku harus bisa memenangkan perburuan ini. Sedikitpun aku tidak boleh terlihat lemah di depan Ibu Peri yang terus memperhatikan setiap gerak-gerikku dari kejauhan.

Setelah berhasil mengatur nafas kembali, aku berniat untuk melanjutkan perburuan, namun tiba-tiba kudengar teriakan Ibu Peri, “Hentikan dulu, nak. Istirahatlah!”

Aku langsung menghentikan gerakan, kutatap penuh tanya Ibu Peri yang berjalan perlahan mendekatiku.

Sekumpulan kupu-kupu yang berterbangan di sisi kanan-kiri Ibu Peri, seketika membuat mulutku menganga. Aku menatap takjub, melihat kupu-kupu yang berwarna-warni dan sangat indah itu terbang berkeliling, sesekali hinggap di pundak Ibu Peri. Mereka terlihat sangat jinak,

“Begitukah caramu mengejar kebahagiaan? Berlari dan menerjang? Menabrak-nabrak tak tentu arah, menerobos tanpa peduli apa yang kamu rusak?”

Masih dengan sorot mata penuh kelembutan, Ibu Peri menatap mataku kemudian berkata dengan bijak. “Nak, mencari kebahagiaan itu seperti menangkap kupu-kupu. Semakin kamu terjang, semakin ia akan menghindar. Semakin kamu buru, semakin pula ia akan pergi dari dirimu.”

“Untuk bisa mendapatkannya, sebetulnya mudah sekali. Tangkaplah kupu-kupu itu dengan mengerahkan kelembutan hatimu bukan dengan kekuatan tenagamu. Karena kebahagiaan itu bukan benda yang dapat kamu genggam, atau sesuatu yang dapat kamu simpan. Temukanlah kebahagiaan itu dalam hatimu. Telusuri rasa itu dalam kalbumu. Ia tak akan lari kemana-mana. Bahkan tanpa kamu sadari, kebahagiaan yang selalu kamu cari itu suatu saat pasti akan memenuhi jiwamu dengan sendirinya.”

“Tak ada musuh yang tak dapat ditaklukan oleh cinta. Tak ada penyakit yang tak dapat disembuhkan oleh kasih sayang. Tak ada permusuhan yang tak dapat dimaafkan oleh ketulusan. Tak ada kesulitan yang tak dapat dipecahkan oleh ketekunan. Tak ada batu keras yang tak dapat dipecahkan oleh kesabaran. Semua itu haruslah berasal serta bermula dari hati kamu sendiri. Bicaralah dengan bahasa hati, maka akan sampai ke hati pula.”

Sesaat aku termenung, mencoba mencerna rangkaian kata bijak yang disampaikan oleh Ibu Peri.

Ya, selama ini aku tidak bisa membedakan antara bisikan hati dengan bisikan ego di dalam diri. Demikian mudahnya aku terpancing emosi sehingga membuatku selalu terjebak dalam pemikiran yang selalu menomor satukan harga diri. Keegoanku yang tidak ingin terlihat lemah serta rasa kecewa karena selalu merasa di anggap ‘tidak ada’, malah semakin menenggelamkan bisikan hatiku dalam balutan api amarah yang selanjutkan justru semakin membakar dan menghanguskan gairahku sendiri.

Aku tersentak, ketika jemari lembut Ibu Peri menyentuh dan mengusap butiran bening yang tanpa sadar telah mengalir di kedua pipiku.

Sambil tersenyum dan dengan penuh kelembutan, selanjutnya perlahan Ibu Peri mengangkat tangannya. Hap! Tiba-tiba kupu-kupu yang tadi aku kejar, hinggap di ujung jemari lentiknya. Ia terlihat sangat jinak. Sama sekali tidak menghindar apalagi mengelak, ketika Ibu Peri menyentuh sayap cantiknya.

Kepak-kepak sayap kupu-kupu itu memancarkan keindahan ciptaan Tuhan. Pesonanya begitu mengagumkan, kelopak sayap yang mengalun perlahan, layaknya kebahagiaan yang hadir di dalam hati. Warnanya begitu indah, seindah kebahagiaan bagi mereka yang mampu menyelaminya. (Jupiter doc./22Mei’08)

(*Cerita pencerahan dari seorang sahabat yang sebagian besar isi serta rangkaian kalimatnya sudah terlebih dahulu aku edit dan aku kembangkan. Semoga bisa mencerahkan setiap hati yang tengah dilanda gundah)

Posted in Coretanku, Pencerahan | 2 Comments »

Barang Itu Menua (Sepo doc)

Posted by jupiter pada Mei 23, 2008

Barang Itu Menua
Friday, May 23, 2008
Oleh: Jupiter
Aku tersenyum malas ketika seorang sales door to door menawarkan produk rumah tangga dengan setengah memaksa. Aku katakan baik-baik bahwa aku belum membutuhkan barang yang ditawarkannya tersebut. Sales itu bertubuh sedikit tambun dengan kemeja putih yang sudah mulai berubah warna. Mungkin karena terlalu banyak debu yang menyerap di antara rembesan peluh yang mengucur deras.

Astaga, ternyata dia tidak begitu saja menyerah. Dia mengeluarkan beberapa produk lain yang ada di dalam tas dora emon-nya; mulai dari alat pengusir tikus electrik, coffee maker, egg steamer, juice maker, infrared massage hammer, dan lain-lain. Aku hanya tersenyum sambil tetap menggelengkan kepala. Gerak gerikku terlihat enggan melayani penawarannya yang tidak kenal pantang menyerah itu.

Sebetulnya bisa saja aku mengusirnya. Kegigihannya sudah mulai mengganggu privacy-ku. Tapi entah mengapa tindakan kasar itu tidak mampu kulakukan terhadap orang-orang yang berjiwa pantang menyerah seperti dia. Muncul rasa iba dalam hati saat melihat kesabarannya menghadapi penolakan. Dia tetap bisa memamerkan senyum tulusnya yang akhirnya mencairkan kekesalanku.

Apalagi ketika melihat Bunda mulai tertarik dengan demo infrared massage hammer yang diperagakan pada kedua kakinya. Setelah mengalami stroke untuk yang kedua kalinya, kondisi kaki Bunda memang sulit untuk digerakan.

Bunda melirik ke arahku, seolah memohon untuk dibelikan produk yang dianggapnya ajaib tersebut. Aku mulai garuk-garuk kepala begitu melihat tatapan permohonan dari Bunda. Ini merupakan kelemahanku yang paling telak. Aku nggak tega menolak keinginan orang-orang yang sangat istimewa dalam hidupku.

Di saat aku menimbang-nimbang, tiba-tiba ponselku bernyanyi.

“Ya, Sayang? Sori tadi keputus, baterenya low,” jawabku sambil tetap memerhatikan ekspresi wajah sales yang sedang memeragakan produk unggulannya kepada Bunda.

“Bunda lagi jadi kelinci percobaannya Mas yang nawarin alat pijat modern, nih!” jawabku lagi ketika dia menanyakan keadaan Bunda. Aku menyebutkan satu persatu produk yang ditawarkan oleh sales bebal itu.

Tiba-tiba dia menjerit kegirangan. “Wow! Juice maker yang kayak diiklanin ama Ulfa itu, kan? Mau dong, Yang! Aku sudah seminggu mencari barang itu. Belum ada di mal di sini.”

Ups! Kepalaku tiba-tiba jadi bertambah gatal. Nambah lagi, neh! Sepertinya kegigihan sales bertubuh tambun itu tidak akan menjadi sia-sia. Infrared massage hammer dan juice maker-nya sudah mendapat respon yang positif dari dua orang yang sangat istimewa di hatiku.

“Hmm… iya, ntar aku tanya dulu, ya! Kalau cocok seperti yang lagi kamu cari, pasti aku ambil, deh!” kataku mengaminkan permohonannya. Selintas kulihat air muka si sales berubah cerah ketika berhasil mencuri dengar percakapan kami.

Setelah itu aku menyudahi pembicaraan di ponsel. Tanpa diminta, sales yang sudah merasa mendapatkan mangsanya itu langsung menjelaskan secara rinci kegunaan serta kelebihan juice maker. Bahkan dengan semangat menggebu-gebu, dia langsung memperagakan cara penggunaannya. Aku hanya manggut-manggut, melihat kelincahan gerakannya. Akhirnya, tas dora emon-nya kehilangan beban juga.

***

Pada kesempatan lain, adik perempuanku yang tinggal di luar kota datang mengunjungi Bunda. Dia memintaku untuk menemaninya berbelanja pakaian untuk kedua anaknya yang masih balita.

Awalnya aku memang hanya sekedar menemani dia berbelanja, tapi ketika melihat beberapa potong pakaian yang menurutku cocok apabila dikenakan oleh kekasih serta buah hati kami, aku langsung tertarik dan mengambil beberapa potong. Lumayan, ini untuk menambah perlengkapan penyambutan kedatangannya kelak. Aku membayangkan masa-masa yang selalu kunantikan itu sambil tersenyum-senyum.

“Untuk siapa, Kak?” tanya adikku heran, melihat beberapa potong pakaian yang dilihatnya sama sekali tidak sesuai dengan ukuran tubuhku maupun ukuran tubuh anak-anaknya.

“Titipan teman. Tadi dia nelpon minta tolong dibelikan,” jawabku asal. Adikku hanya mengangguk sambil menggumam tak jelas. Aku yakin sebenarnya dia pasti merasakan aura kebohongan pada jawaban asalku tadi. Sebodo, ah, pikirku tidak memedulikan mimik muka bingung serta kalimat tak jelas pada gumam adik bungsuku itu.

Kini, barang-barang yang telah kubeli untuk menyambut kedatangannya masih mengisi satu rak di dalam lemari pakaianku. Namun hari yang kutunggu tidak akan menghampiriku. Dari pantulan cermin di lemari, aku menangkap segaris sembilu pada sorot mata sayuku. Harapan itu telah berlalu, menguap diredam heningnya sang waktu.

Aku menarik napas panjang. Aku sesak. Aku cair bersama sisa es krim dalam mangkuk kecil yang masih terhampar di telapak tanganku, ketika kata-kata terakhirnya kembali terngiang di telingaku, “Biarkan semua berjalan seperti ini, apa adanya. Hidupmu adalah milikmu, dan hidupku akan kujalani sendiri.”

Aku tahu, itu artinya hubungan kami sudah berakhir. Berakhir untuk selamanya. Tak ada ‘aku dan kamu’ lagi.

Setelah melalui ratusan hari dan minggu, dia tidak mengharapkan hubungan kami terjalin dalam bentuk apapun. Seperti debu yang tertiup oleh angin, musnah begitu saja. Dan aku tak mampu lagi berbuat apa-apa selain merelakan kepergiannya.

Aku menyandarkan tubuh yang mulai terasa berat pada pintu lemari. Sampai hari menjadi gelap aku belum beranjak, masih kutatap dengan bingung pada tumpukan barang-barang yang sudah menua usianya. Tanpa pemiliknya.

@Jupiter, SepociKopi, 2008

Labels: #Jupiter, Happy Hour, Tentang Cinta
posted by Lakhsmi, 12:15 PM

Posted in Sepocikopi archives | Leave a Comment »