RENUNGAN JUPITER

Keikhlasan itu umpama seekor semut hitam, di atas batu yang hitam, di malam yang amat kelam.

Archive for Mei 27th, 2008

Aku Percaya, Aku Bisa!

Posted by jupiter pada Mei 27, 2008

RENUNGAN JUPITER
(Aku Percaya, Aku Bisa!)

Pernahkah kalian terjebak ke dalam satu permasalahan yang sama? Aku pernah, bahkan sering. Bodoh ya?! Ya, aku akui. Tapi dibalik kebodohan itu aku menikmati hentakan-hentakan emosinya.

Sering terjadi konflik dalam diriku. Satu sisi aku menolak dan mencoba untuk berontak. Namun di sisi lain, aku tidak mau keluar dan merasakan kenikmatan tersendiri, ketika sisi cengengku itu keluar dan melarutkan khayalanku pada harapan-harapan yang aku sendiri tidak tahu bagaimana sebetulnya cara untuk menggapai serta mewujudkan harapanku tersebut.

Dalam perenunganku kali ini, aku mencoba untuk melakukan perjalanan ke dalam diri dan mencoba mengenal pribadi seperti apa saja sebetulnya yang bersemayam di dalam diriku ini.

Terkadang aku sering merasa Tuhan telah berlaku tidak adil karena telah menentukan jalan hidupku yang begitu rumit dan tidak semulus dan selurus jalan hidup saudara-saudaraku yang lain. Begitu banyak beban, masalah, hambatan yang harus aku hadapi dalam mendaki jalan kehidupan ini.

Tapi di saat yang lain, aku sadar Tuhan tidak mungkin memberikan cobaan yang di luar batas kemampuanku. Layaknya sebongkah besi, jiwaku selalu di tempa oleh segala rintangan serta cobaan yang selalu menghantam langkahku. Ketajaman perasaanku terus menerus di asah melalui segala ujian yang menuntutku untuk terus berlatih dan bisa bertahan agar hatiku menjadi kebal dan tahan tehadap segala tikaman yang selalu dilancarkan.

Ketidakmampuanku dalam memahami apa sebetulnya yang aku mau dan aku butuhkan, terkadang membuat jiwaku lelah, pikiranku buntu dan semangat berjuangku mengkerut. Pada saat seperti ini biasanya aku bersembunyi di balik satu kata ajaib yang sudah sangat akrab dengan diri, dia adalah “Pasrah” yang sebelumnya telah aku manipulasi dengan balutan kata yang sangat agung yaitu “Ikhlas”.

Yup! Kata “Ikhlas” ini menjadi senjata paling ampuh dalam menutup satu permasalahan yang tidak mampu aku selesaikan. Dengan bersembunyi di balik satu kata yang sebetulnya selalu membuatku merinding itu, beberapa saat aku bisa merasa terbebas dari beban yang tidak mampu aku hadapi. Namun di saat yang lain, kejujuran di dalam diri selalu berontak dan mencaci maki jiwa pengecutku tersebut.

“Kamu belum mampu untuk bisa semulia itu. Hati dan pikiranmu masih terlalu rumit. Emosimu masih jauh dari stabil, tidak pantas kamu bersembunyi di balik satu kata yang sangat keramat itu!” sisi positifku menghardik dan mengingatkan segala kelemahan yang belum mampu aku atasi.

“Tapi aku tidak mau tejebak dalam kata pasrah, terlalu sakit rasanya kalau aku menggunakan kata itu. Kata Pasrah itu terlalu mencerminkan ketidak berdayaanku dan itu bukan diriku banget. Aku tidak selemah itu!” Sisi negatif mencoba membela diri.

“Kalau kamu tidak mau terlihat lemah, kamu harus mengenal dan memahami permasalahannya terlebih dahulu. Coba kamu terlusuri apa sebetulnya akar permasalahan yang membuat jiwamu menjadi labil dan tertekan seperti itu. Aku yakin, semua beban itu pasti bukan berawal dari orang lain.”

“Tapi bagaimana caranya aku bisa mengetahui akar permasalahannya, sementara aku sendiri tidak merasa bersalah. Apa yang aku lakukan adalah wajar dan selalu ada alasan mengapa aku bersikap demikian terhadap orang lain. Orang lainnya saja yang memang tidak bisa mengerti apa yang aku mau.”

“Itulah kesalahan kamu yang paling fatal. Kamu selalu menyandarkan harapan terhadap orang lain, sementara apakah kamu sendiri mengerti apa sebetulnya yang kamu mau?”

“Aku? Ya jelas tahu lah. Yang aku mau, tanpa aku jelaskan secara rinci, seharusnya orang lain bisa mengerti apa yang aku mau. Seperti halnya aku selalu berusaha mengerti apa yang mereka mau.”

“Gotcha! Sekarang aku tanya, apakah kamu sendiri benar-benar sudah tahu apa yang sebetulnya mereka mau?”

“Yang mereka mau? Ehmm….” Untuk pertama kalinya sisi negatifku tidak bisa berkelit dan tidak mampu menjawab pertanyaan yang mematikan itu.

“Nah, kamu sendiri nggak yakin kan, dengan perasaan kamu sendiri? Bagaimana orang lain bisa mengerti apa yang kamu inginkan, kalau kamu tidak pernah memberitahukan kepada mereka. Ketajaman perasaan manusia itu berbeda-beda. Ada yang bisa membaca hanya melalui kata-kata dan gerak tubuh kita, ada yang sebaliknya, sulit untuk mencerna karena terlalu banyaknya beban dalam dirinya sendiri yang belum sanggup untuk dia selesaikan. Seperti yang terjadi pada dirimu saat ini.”

Penjelasan dari sisi positif membuat sisi negatif semakin tersudut, “Jadi, apa yang harus aku lakukan?”

“Ada banyak teknik yang bisa digunakan. Salah satunya dengan mencoba mengerti dan memahami dulu apa yang sebetulnya kamu inginkan. Untuk itu, langkah pertama yang harus kamu lakukan adalah terlebih dahulu kamu harus bisa mengenali keberadaan “diri”. Setelah itu menerima keberadaan, sikap, karakter, atau kepribadian dari diri kamu sendiri. Belum tentu akar permasalahan yang sedang kamu hadapi itu berasal dari orang lain, bisa jadi dari keangkuhanmu yang merasa sudah bisa memahami apa yang mereka mau, padahal sebetulnya kamu hanya menebak-nebak dan hanya memandang kebutuhan orang lain dari sudut pandang kebutuhanmu sendiri.”

Perlahan sisi negatif mulai menguap dan mengakui kebenaran yang dijabarkan oleh sisi positif.

“Langkah berikutnya kamu lakukan koordinasi. Cari tahu hubungan antara hati serta pikiranmu yang sedang konflik. Apa sebetulnya yang membuat kamu merasa terbebani. Selanjutnya bantu “diri” yang konflik untuk bisa menemukan resolusi, atau paling tidak melakukan kompromi, sehingga hati dan pikiranmu dapat bekerja sama dengan baik.”

“Apabila kamu sendiri sudah mengenal dan memahami akar permasalahannya. Ini berarti kamu sudah menyadari siapa diri kamu yang sesungguhnya dan apa sebetulnya yang kamu inginkan. Pada saat seperti ini, aku yakin kamu akan bisa memahami apa yang sebenarnya dipikirkan oleh orang yang selama ini kamu anggap tidak peka pada apa yang kamu inginkan, dan selanjutnya kamu akan bisa memaklumi ketidak pekaan mereka tersebut.”

Pada akhirnya aku mengerti, untuk menyelesaikan pertikaian di dalam diriku ini. Aku harus selalu percaya. Karena percaya adanya di dalam hati, maka akan kutanamkan terus hal itu dalam kalbu. Karena rasa percaya tersimpan dalam hati, maka akan kupenuhi nuraniku dengan kekuatan itu. Aku percaya, akan ada petunjuk-petunjuk Sang Pencipta dalam setiap langkahku menapaki jalan kehidupan ini.

Akan kucari, gali, dan temukan rasa percaya itu dalam hatiku. Sebab, saat aku telah percaya, maka petunjuk itu akan datang dengan tanpa disangka. Aku percaya, aku pasti bisa melewati serta mengambil hikmah dari setiap cobaan yang menyapa. (Jupiter doc./27Mei08)

“Perjalanan yang paling panjang dan paling melelahkan adalah perjalanan masuk ke dalam diri sendiri.”

Posted in Coretanku, Pencerahan | Leave a Comment »