RENUNGAN JUPITER

Keikhlasan itu umpama seekor semut hitam, di atas batu yang hitam, di malam yang amat kelam.

Tekad Seorang Perempuan Malam

Posted by jupiter pada Januari 20, 2008

Tekad Seorang Perempuan Malam
Oleh : Jupiter

Bunga layu itu telah benar-benar gugur, tak ada lagi yang tersisa. Patahan ranting keringnyapun kini sudah tersapu bersih oleh badai, badai ganas yang menerjang dan mengobrak abrik segala kehidupan. Kehidupan yang sangat kelam yang hanya mampu mengiriskan luka yang teramat dalam. Luka yang tidak akan pernah bisa kering, walau telah ditaburkan ribuan drum betadine di atasnya.

Perempuan malam, berjalan terseok dan tertatih diantara genangan darah yang mengalir dan membanjiri setiap pijakan kakinya. Hanya ratap penyesalan serta sedu sedan yang tak berkesudahan yang mengiringi kepergiannya. Tidak ada satupun gapaian tangan yang sanggup menghentikannya.

Sampai akhirnya langkahnya terhenti di satu persimpangan, persimpangan antara gelap dan temaram.

Perlahan dia mencoba membasuh segala kotoran yang melekat di kulit tubuhnya yang sudah tertutup oleh darah, darah yang sudah mulai bernanah dan menebarkan bau amis yang sangat menyengat indra penciumannya. Luka ditubuhnya semakin meradang, namun tak bisa di lihat oleh matanya yang telanjang. Hanya rasa pedih yang mencabik cabik ulu hatinya yang sanggup dia rasakan.

Sesaat dia mencoba untuk meresapi rasa pedih itu, kedua kelopaknya terpejam sangat rapat, rahangnya terkatup menahan geram yang seketika mengaliri tungku hatinya, mengobarkan dendam yang sudah lama ingin dia singkirkan. Meski timbul tenggelam, dendam itu terus mencoba mendesak dan menerjang satu benteng pertahanan yang telah dibangunnya. Desakan yang sangat hebat, yang hampir membuatnya terpental ke belakang.

Perempuan malam mengerang sangat kencang, dengan sekuat tenaga dia mencoba mempertahankan keutuhan benteng pertahanan dirinya itu. Nafasnya mulai tersenggal, namun dia bertekad untuk tetap memenjarakan segala sisi negatif yang bisa mengacaukan segala perjuangannya. Perjuangan yang sudah melalui segala macam rintangan yang tersebar di atas hamparan tebing yang sangat curam.

Tamparan yang diterimanya kali ini, telah membuat hatinya berkeping-keping, namun dia tetap mencoba bertahan untuk bisa tetap tegar.

Bunga itu memang telah gugur, namun akarnya masih tersisa di dasar benteng pertahanannya itu. Sampai titik darah penghabisan, tidak ada seorangpun yang akan dibiarkannya menginjak-injak akar tersebut. Karena hanya akar itulah yang bisa tetap membuatnya bertahan untuk hidup.

***

Dentang malam berbunyi dua belas kali. Perempuan malam terkulai setelah terbangun dari tidur panjang yang sangat melelahkan seluruh syaraf ditubuhnya.

Tujuh purnama dia tertidur. Mimpi-mimpi indah yang menemani tidurnya selama lebih dari enam purnama, telah berganti dengan mimpi yang teramat buruk yang membuatnya enggan untuk tertidur lagi. Hamparan jala yang telah ditebarkan oleh seorang teman, telah membawa mimpi-mimpi indahnya itu terbang melayang dan kemudian menghilang dari jangkauan pandangannya.

Perempuan malam terdiam dan terpekur di atas hamparan sajadah yang membentang. Sebaris do’a syukur keluar dari sela bibir pucatnya. Jiwa kosongnya perlahan terisi kembali oleh rangkaian kalimat menyejukan yang selama ini selalu dihindarinya.

Dipejamkan kelopak matanya kuat-kuat, mencoba melawan segala desakan larva pijar yang berusaha meruntuhkan pertahanan dirinya. Sesekali dia menarik nafas sangat dalam, kemudian menghembuskannya kembali secara perlahan. Rasa nyeri di dadanya memang belum berkurang, namun dia harus tetap melanjutkan perjalanan. Dengan ataupun tanpa seseorang yang special.

Perlahan dia bangkit. Genangan air yang menetes di pipinya, diperas dan dimasukannya ke dalam gelas pelajaran yang akan selalu di bawanya, sebagai bekal untuk membasuh setiap luka yang mungkin akan terbuka kembali. Serpihan darah kering yang mengelupas dari kulit tubuhnya, dia susun rapi ke dalam mangkuk pengalaman, kemudian ditutup sangat rapat agar aroma amisnya tidak menyebar keluar.

Perempuan malam mulai berjalan keluar, meninggalkan tujuh purnama yang telah mulai menghitam. Sebaris janji berputar di kepalanya, sampai kapanpun dia tidak akan pernah lagi menengokan kepalanya ke belakang. Tekadnya sudah bulat untuk menepiskan segala kenangan tersebut.

Enam purnama sebelumnya memang sangat indah, namun satu purnama berikutnya telah cukup membuka mata hatinya yang selama ini telah mengaburkan ingatannya akan adanya masa depan. Mulai sekarang dia harus melanjutkan perjalanan untuk mencari setitik cahaya yang akan menerangi langkahnya ke depan.

Sentuhan lembut jemari bunda dikepalanya telah cukup memberikan kekuatan, untuk kembali melangkahkan kakinya yang sempat terhenti karena dibakar oleh api kebencian.

Perempuan malam yang sedang malang, terus berjalan dan menerjang desakan ribuan badai yang menghadang di depan. Tak perduli ada atau tidak adanya teman, tak perduli hujan ataupun badai yang menyerang. Dia akan terus berjalan mengikuti arus kehidupan, sampai kelak ajal menghentikan langkahnya. (Jupiter doc/Jan08)

***

Tinggalkan komentar