RENUNGAN JUPITER

Keikhlasan itu umpama seekor semut hitam, di atas batu yang hitam, di malam yang amat kelam.

Archive for Januari 3rd, 2008

Mengendus Aroma Lesbian

Posted by jupiter pada Januari 3, 2008

Mengendus Aroma Lesbian
Thursday, January 3, 2008
Oleh : Jupiter

“Dia sudah tahu!” kata mantan partner pertamaku, ketika aku menanyakan perubahan sikap salah satu teman lelaki yang tengah gencar melakukan pendekatan kepadanya.

“Kok bisa?” tanyaku bingung, “Kamu sudah memberi tahu dia?” tanyaku lagi dengan sorot mata menuduhnya.

“Nggak! Aku nggak pernah bilang apa-apa,” sanggahnya, mengelak dari tuduhanku.

“Terus, dia bisa tahu dari mana?” kali ini aku benar-benar kebingungan melihat mimik wajahnya yang mulai terlihat menggoda ke arahku.

“Ya… dari siapa lagi, kalo bukan dari sayangku sendiri,” jawabnya sambil mencolek genit daguku. Aku cemberut, menanggapi kegenitannya.

Tiba-tiba dia menjerit kesakitan sambil mengangkat dan memegangi salah satu betisnya. “Aduh-duh…!”

Melihat mimik kesakitannya, spontan aku langsung ikut memegangi betisnya, “Kenapa, Sayang? Kram lagi, ya?” tanyaku dengan mimik muka khawatir, sambil mencoba memberikan pijatan lembut pada betisnya.

“Hihihi… perhatian kamu yang kayak gini, nih. Yang bikin dia jadi tahu,” jawabnya sambil menurunkan kembali betisnya yang sebetulnya hanya memancing sikap reffleksku saja. Selanjutnya dia berlalu ke kamar mandi tanpa memperdulikan aku yang masih tertegun mendengar penjelasannya tersebut.

Peristiwa di masa lalu itu, seketika mengingatkan aku kembali pada satu peristiwa miris seputar pertemuanku dengan kekasih. Yang tanpa sebab yang jelas, bisa tercium oleh keluarga besarnya, sehingga membuat pertemuan yang seyogyanya akan menjadi sejarah bersatunya kisah kasih kami untuk yang pertama kalinya itu menjadi berantakan

Pada kesempatan yang lain, tepatnya dua bulan yang lalu. Salah satu keponakan perempuanku yang masih kecil, tiba-tiba langsung duduk di pangkuanku. Dengan jenakanya, dia mencoba mengoda keseriusanku yang tengah larut dalam satu sinetron yang ditayangkan oleh salah satu saluran televisi favoriteku.

Awalnya dia hanya mencoba menghalang-halangi pandanganku dengan tubuh mungilnya. Kemudian tangannya bergerak jahil, mencoba menggelitik pinggang dan bagian perutku. Ketika dia merasa tingkah isengnya tidak berhasil mengalihkan perhatianku, secara tiba-tiba dia langsung mengecup bibirku dengan mimik muka gemas.

Huff! Spontan aku langsung menepiskan serbuan yang dilancarkan bibir mungilnya itu. Gila! Apa lagi nih? Aku jadi merinding sendiri. Masih terbayang jelas, senyum genit yang keluar dari bibir keponakanku itu, ketika aku berusaha menghindar dari serangan mautnya tersebut.

Ya ampun! Sedemikian kuatkah aroma lesbian yang melekat dalam diri? Sampai keponakanku saja bisa turut merasakannya.

Entah apa yang harus aku lakukan untuk bisa mengaburkan pandangan negatif dari keluarga besarku, yang mulai bisa mencium segala perbedaan yang ada di dalam diri ini. Status kesendirianku yang dianggap sudah di luar batas kewajaran, selalu mengundang pertanyaan mereka.

Meski aku sendiri mulai yakin, kalau mereka sebetulnya sudah bisa merasakan perbedaan orientasi seksku ini. Namun aku sama sekali tidak ada niat untuk coming out kepada mereka secara terang-terangan. Biarlah mereka bermain dengan pikiran mereka sendiri. Aku tidak mau bertindak bodoh, yang pastinya hanya akan melemparkan dan menjerumuskan langkahku, ke dalam satu jurang penyesalan yang tak berdasar.

Pernah pada suatu hari, ketika dua orang sahabat lesbianku datang berkunjung ke rumah keluarga besar kami. Bunda bertanya kepadaku seputar keakraban mereka yang bagi beliau dirasakan agak berbeda. Saat itu penampilan mereka sebetulnya tidak terlalu mencolok, namun kemesraan di antara mereka tidak bisa disembunyikan.

Demi menjaga kestabilan kondisi kesehatan bunda, yang saat itu sudah dua kali terserang stroke. Terpaksa aku harus berbohong, dengan menjelaskan kalau hubungan mereka itu tidak lebih dari sepasang sahabat semata. Namun bunda nampaknya tidak percaya dengan penjelasan yang telah aku berikan. Dengan mimik muka kuatir, beliau berpesan kepadaku untuk tidak terlalu dekat dengan mereka serta menyarankan untuk secepatnya menjauhi mereka.

Aku benar-benar tidak bisa membayangkan, bagaimana jadinya seandainya beliau tahu. Kalau ternyata anak yang menjadi kebanggaanya ini juga, sebetulnya merupakan salah satu bagian dari mereka.

Sejak saat itu, aku memilih untuk menghindar dan tidak terlibat percakapan yang serius dengan bunda. Walau terkadang aku sendiri mulai gerah dengan tatapan serta pertanyaan-pertanyaan miring yang diajukan oleh beliau. Namun untuk saat ini, kondisi kesehatan bunda lebih utama dibanding kebahagiaanku sendiri. Aku tidak mau menghancurkan hati bunda, hanya karena aku tidak tahan dengan tatapan serta pertanyaan yang memojokkan. Aku terlalu mencintai dan menyayangi beliau.

Terlebih lagi dengan pengalaman pahit yang terjadi dua tahun yang lalu. Ketika kedekatanku dengan mantan partner, tercium oleh almarhum ayahanda. Saat itu hubungan baik yang sudah terjalin diantara keluarga besar kami (aku dan mantan partner) sempat memanas, akibat hasutan yang ditiupkan oleh beberapa orang pintar kepercayaan ayah.

Meski beliau tidak pernah menanyakan kebenaran hasutan itu kepadaku secara langsung, namun dari tindak tanduk beliau yang selalu uring-uringan apabila aku pulang bersama partner. Cukup membuat aku yakin, kalau sebetulnya beliau sudah bisa membaca kejanggalan pada hubungan kami. Peristiwa tersebut secara tidak langsung telah merengut nyawa ayahanda tercinta. Ini cukup menjadi pelajaran yang sangat berharga bagiku, untuk tidak bertindak ceroboh lagi.

Saat ini Ayahanda memang sudah berpulang ke pangkuan Sang Pencipta, sementara bunda pun kini sudah mulai pikun. Namun biarlah segala perbedaan ini tetap menjadi rahasiaku sendiri. Aku tidak mau menjadi keledai dungu yang bergelut dalam penyesalan seumur hidupku. Yang harus aku lakukan sekarang ini adalah memusatkan perhatianku pada kesehatan bunda, serta mempersiapkan masa depanku agar kelak tidak menggantungkan beban masa tuaku kepada orang lain.

@Jupiter, SepociKopi, 2007

Posted in Coretanku, Sepocikopi archives | Leave a Comment »

Mengendus Aroma Lesbian

Posted by jupiter pada Januari 3, 2008

Mengendus Aroma Lesbian
Thursday, January 3, 2008
Oleh : Jupiter

“Dia sudah tahu!” kata mantan partner pertamaku, ketika aku menanyakan perubahan sikap salah satu teman lelaki yang tengah gencar melakukan pendekatan kepadanya.

“Kok bisa?” tanyaku bingung, “Kamu sudah memberi tahu dia?” tanyaku lagi dengan sorot mata menuduhnya.

“Nggak! Aku nggak pernah bilang apa-apa,” sanggahnya, mengelak dari tuduhanku.

“Terus, dia bisa tahu dari mana?” kali ini aku benar-benar kebingungan melihat mimik wajahnya yang mulai terlihat menggoda ke arahku.

“Ya… dari siapa lagi, kalo bukan dari sayangku sendiri,” jawabnya sambil mencolek genit daguku. Aku cemberut, menanggapi kegenitannya.

Tiba-tiba dia menjerit kesakitan sambil mengangkat dan memegangi salah satu betisnya. “Aduh-duh…!”

Melihat mimik kesakitannya, spontan aku langsung ikut memegangi betisnya, “Kenapa, Sayang? Kram lagi, ya?” tanyaku dengan mimik muka khawatir, sambil mencoba memberikan pijatan lembut pada betisnya.

“Hihihi… perhatian kamu yang kayak gini, nih. Yang bikin dia jadi tahu,” jawabnya sambil menurunkan kembali betisnya yang sebetulnya hanya memancing sikap reffleksku saja. Selanjutnya dia berlalu ke kamar mandi tanpa memperdulikan aku yang masih tertegun mendengar penjelasannya tersebut.

Peristiwa di masa lalu itu, seketika mengingatkan aku kembali pada satu peristiwa miris seputar pertemuanku dengan kekasih. Yang tanpa sebab yang jelas, bisa tercium oleh keluarga besarnya, sehingga membuat pertemuan yang seyogyanya akan menjadi sejarah bersatunya kisah kasih kami untuk yang pertama kalinya itu menjadi berantakan

Pada kesempatan yang lain, tepatnya dua bulan yang lalu. Salah satu keponakan perempuanku yang masih kecil, tiba-tiba langsung duduk di pangkuanku. Dengan jenakanya, dia mencoba mengoda keseriusanku yang tengah larut dalam satu sinetron yang ditayangkan oleh salah satu saluran televisi favoriteku.

Awalnya dia hanya mencoba menghalang-halangi pandanganku dengan tubuh mungilnya. Kemudian tangannya bergerak jahil, mencoba menggelitik pinggang dan bagian perutku. Ketika dia merasa tingkah isengnya tidak berhasil mengalihkan perhatianku, secara tiba-tiba dia langsung mengecup bibirku dengan mimik muka gemas.

Huff! Spontan aku langsung menepiskan serbuan yang dilancarkan bibir mungilnya itu. Gila! Apa lagi nih? Aku jadi merinding sendiri. Masih terbayang jelas, senyum genit yang keluar dari bibir keponakanku itu, ketika aku berusaha menghindar dari serangan mautnya tersebut.

Ya ampun! Sedemikian kuatkah aroma lesbian yang melekat dalam diri? Sampai keponakanku saja bisa turut merasakannya.

Entah apa yang harus aku lakukan untuk bisa mengaburkan pandangan negatif dari keluarga besarku, yang mulai bisa mencium segala perbedaan yang ada di dalam diri ini. Status kesendirianku yang dianggap sudah di luar batas kewajaran, selalu mengundang pertanyaan mereka.

Meski aku sendiri mulai yakin, kalau mereka sebetulnya sudah bisa merasakan perbedaan orientasi seksku ini. Namun aku sama sekali tidak ada niat untuk coming out kepada mereka secara terang-terangan. Biarlah mereka bermain dengan pikiran mereka sendiri. Aku tidak mau bertindak bodoh, yang pastinya hanya akan melemparkan dan menjerumuskan langkahku, ke dalam satu jurang penyesalan yang tak berdasar.

Pernah pada suatu hari, ketika dua orang sahabat lesbianku datang berkunjung ke rumah keluarga besar kami. Bunda bertanya kepadaku seputar keakraban mereka yang bagi beliau dirasakan agak berbeda. Saat itu penampilan mereka sebetulnya tidak terlalu mencolok, namun kemesraan di antara mereka tidak bisa disembunyikan.

Demi menjaga kestabilan kondisi kesehatan bunda, yang saat itu sudah dua kali terserang stroke. Terpaksa aku harus berbohong, dengan menjelaskan kalau hubungan mereka itu tidak lebih dari sepasang sahabat semata. Namun bunda nampaknya tidak percaya dengan penjelasan yang telah aku berikan. Dengan mimik muka kuatir, beliau berpesan kepadaku untuk tidak terlalu dekat dengan mereka serta menyarankan untuk secepatnya menjauhi mereka.

Aku benar-benar tidak bisa membayangkan, bagaimana jadinya seandainya beliau tahu. Kalau ternyata anak yang menjadi kebanggaanya ini juga, sebetulnya merupakan salah satu bagian dari mereka.

Sejak saat itu, aku memilih untuk menghindar dan tidak terlibat percakapan yang serius dengan bunda. Walau terkadang aku sendiri mulai gerah dengan tatapan serta pertanyaan-pertanyaan miring yang diajukan oleh beliau. Namun untuk saat ini, kondisi kesehatan bunda lebih utama dibanding kebahagiaanku sendiri. Aku tidak mau menghancurkan hati bunda, hanya karena aku tidak tahan dengan tatapan serta pertanyaan yang memojokkan. Aku terlalu mencintai dan menyayangi beliau.

Terlebih lagi dengan pengalaman pahit yang terjadi dua tahun yang lalu. Ketika kedekatanku dengan mantan partner, tercium oleh almarhum ayahanda. Saat itu hubungan baik yang sudah terjalin diantara keluarga besar kami (aku dan mantan partner) sempat memanas, akibat hasutan yang ditiupkan oleh beberapa orang pintar kepercayaan ayah.

Meski beliau tidak pernah menanyakan kebenaran hasutan itu kepadaku secara langsung, namun dari tindak tanduk beliau yang selalu uring-uringan apabila aku pulang bersama partner. Cukup membuat aku yakin, kalau sebetulnya beliau sudah bisa membaca kejanggalan pada hubungan kami. Peristiwa tersebut secara tidak langsung telah merengut nyawa ayahanda tercinta. Ini cukup menjadi pelajaran yang sangat berharga bagiku, untuk tidak bertindak ceroboh lagi.

Saat ini Ayahanda memang sudah berpulang ke pangkuan Sang Pencipta, sementara bunda pun kini sudah mulai pikun. Namun biarlah segala perbedaan ini tetap menjadi rahasiaku sendiri. Aku tidak mau menjadi keledai dungu yang bergelut dalam penyesalan seumur hidupku. Yang harus aku lakukan sekarang ini adalah memusatkan perhatianku pada kesehatan bunda, serta mempersiapkan masa depanku agar kelak tidak menggantungkan beban masa tuaku kepada orang lain.

@Jupiter, SepociKopi, 2007

Posted in Coretanku | Dengan kaitkata: | Leave a Comment »